Senin, 04 April 2011

Menakar Tsiqah Kita Kepada Pemimpin



Tsiqah dalam Sirah
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa dalam perjanjian Hudaibiyah. Umar ibnul Khaththab Ra tidak puas akan kebijakan yang diambil Rasulullah Saw. Ia berkata, ‘Kemudian aku datangi Rasulullah Saw. lalu aku tanyakan padanya.
‘Bukankah engkau Rasulullah Saw.?’.
Beliau menjawab, ‘Ya, benar’. ‘
Bukankah engkau di pihak yang benar dan musuh kita berada di atas kebatilan?’, tanyaku.
Jawab Nabi, ‘Ya, benar’. 

‘Bukankah orang-orang kita yang terbunuh akan masuk surga dan orang-orang mereka yang terbunuh akan masuk neraka?’, tanyaku kembali.
‘Ya, benar’, jawab Rasulullah Saw.
‘Lalu kenapa kita menyetujui agama kita direndahkan’, tanyaku lagi.
‘Sesungguhnya aku adalah Rasulullah, aku tidak akan menyalahi perintah-Nya dan Dia pasti membelaku’, jawab Nabi.
‘Bukankah engkau telah menjanjikan bahwa kita akan datang ke Baitullah untuk melakukan thawaf?’, tanyaku.
‘Ya, benar’, tetapi apakah aku mengatakan kepadamu bahwa engkau akan datang pada tahun ini’, jawab beliau.
Aku menjawab, ‘Tidak’.
‘Engkau pasti akan datang dan thawaf di Baitullah’, tegas Nabi Saw.

Namun Umar ibnul Khaththab tidak merasa puas dengan jawaban Rasulullah Saw. tersebut. Sehingga ia datangi Abu Bakar Shiddiq Ra. lalu menanyakan apa yang tadi dia tanyakan kepada Rasulullah Saw.
Kemudian Abu Bakar berkata kepadanya, ‘Wahai Ibnul Khaththab, sesungguhnya dia adalah Rasulullah. Dia tidak akan menyalahi perintah Tuhannya dan Allah pun tidak akan membiarkannya’.

Tak lama kemudia turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah Saw. lalu Nabi segera panggil Umar ibnul Khaththab Ra. dan membacakan surat Al Fath tersebut kepadanya.
Lalu Abu Bakar bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah hal itu kemenangan (Al Fath)?’.
Jawab Nabi, ‘Ya, benar’.

Barulah hati Umar merasa tenang dengan jawaban tersebut. Dan tak ada sedikitpun keraguan dalam hati para sahabat atas kebijakan yang ditempuh Rasulullah Saw.

Tsiqah dan urgensinya

Hasan Al Banna menjelaskan bahwa makna tsiqah adalah ketenangan jundi terhadap qiyadahnya dalam hal kemampuannya dan keikhlasannya yang menjadikannya semakin cinta, menghargai, menghormati serta taat. Allah berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisaa’: 65).

Qiyadah bagian daripada dakwah. Tidak ada dakwah tanpa qiyadah. Harmonisasi antara qiyadah dan jundiyah akan menjadikan dakwah kuat, program terlaksana, target tercapai dan bisa menghadapi segala macam bentuk rintangan. Jadi tsiqah terhadap qiyadah ujung tombak keberhasilan dakwah.Oleh karena itu masalah ketsiqahan antara qiyadah dan junud menjadi masalah yang cukup urgen. Masalahnya ia menjadi simpul yang menguatkan jalinan antara satu dengan yang lain atau juga melemahkannya. Sedapat mungkin orang-orang yang terlibat aktif dalam dakwah ini tidak melukai dan menodai ketsiqahannya. Qiyadah percaya dan yakin sepenuh hati dengan kemampuan dan upaya junudnya. Demikian pula seorang junud percaya penuh kepada qiyadahnya terhadap segala hal yang telah diputuskannya. Hubungan yang harmonis antara qiyadah dan junud atau sebaliknya dapat menjadi mesin produktivitas bagi dakwah ini.

Ibrah dalam Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyah satu dari sekian peristiwa yang menjadi ibrah bagi para aktivis dakwah. 

 1.Keterbatasan pemahaman dan informasi atas sikap yang diambil Rasulullah Saw. menjadikan sahabat Umar ibnul Khaththab Ra menyangsikan apa yang dilakukan beliau dengan orang Quraisy.

2.Sikap Umar tersebut berdampak pada sikap para sahabat yang lamban untuk digerakkan melaksanakan perintah Rasulullah Saw dalam menyembelih dan mencukur rambut sebagai tanda tahallul.

3.Namun peristiwa itu tidak berlangsung lama. Beliau segera menyadari bahwa mereka perlu digerakkan dari tombolnya. Maka beliau pun memulai dari dirinya untuk melakukan apa yang diperintahkannya tadi. Baru selepas itu para sahabat pun berbondong-bondong menjalankannya.

4.Peristiwa ini terhenti dan tidak berkembang hingga ke akar-akar rumput. Dengan cepat kasus itu terselesaikan. Allah Swt menyelamatkan komunitas kaum muslimin dari perpecahan. Ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya melandasi kekuatan persatuan tersebut. “Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Anfaal: 46)

Tsiqah Buah Interaksi Berkesinambungan
Tsiqah dan kepercayaan tidak muncul tiba-tiba. . Melainkan ia adalah buah dari interaksi yang amat lama. Paling tidak dari interaksi yang sangat lama itu dapat memahami keadaan dan kondisinya masing-masing. Sebagaimana peristiwa Isra’ dan Mi’rajnya Rasulullah Saw. Ketika peristiwa itu diceritakan beliau kepada masyarakat luas. Terjadilah kegegeran di kalangan umum. Mereka menyangsikan kejadian yang dialami Rasulullah Saw. Logika mereka belum sampai untuk menerima peristiwa tersebut. Namun sewaktu kasus itu diceritakan kepada Abu Bakar As Shiddiq Ra. dia amat mempercayainya. Bahkan bila kisahnya jauh lebih dahsyat dari yang didengar orang-orang Quraisy sekalipun ia mempercayainya. Alasannya karena sejak kecil ia berteman dengan Rasulullah Saw. dan selama pertemanan yang sangat lama itu, Abu Bakar tidak pernah menemukan pada pribadi Rasulullah, sikap yang mengada-ada. Lebih-lebih berdusta. Hasil interaksi yang cukup lama itu menjadi perisai diri terhadap pribadi Rasulullah Saw. Sehingga tidak ada celah sekecil apapun dalam diri Abu bakar untuk bersikap menduga-duga.

Tarbiyah yang intens bisa sebagai jalan untuk merajut hubungan yang harmonis antar personal. Baik hubungan antara qiyadah dan jundiyah juga antara jundiyah sendiri. Tarbiyah yang berlangsung sekian lama dapat menjadi alat bantu untuk saling memahami kondisi masing-masing orang yang berada di dalamnya. Baik terkait dengan karakter, sikap, ide dan kemauannya. Oleh karenanya mereka yang sangat lama berinteraksi dengan Rasulullah Saw. tidak memiliki persoalan yang semakin rumit. Tetapi mereka yang lemah hubungan interaksinya dapat menjadi faktor pemicu yang meruwewtkan masalah. Perhatikanlah kasus-kasus pembangkangan terhadap Rasulullah Saw. dalam sejarah banyak dilakukan oleh orang-orang yang lemah berinteraksi dengan beliau. Termasuk daerah-daerah yang hubungannya belum kokoh dalam dereten sejarah paling banyak bergolak ketimbang daerah-daerah yang dekat hubungannya.

Kiat-kiat merajut tsiqah
Ketidaktsiqahan antara qiyadah dan junud ini tidak boleh terjadi terlebih berlarut-larut. Ia harus segera disingkirkan dan diperbaiki dengan cepat. Adapun upaya yang dapat kita lakukan untuk kembali merajutnya diantaranya sebagai berikut:

Pertama, saling memahami bahwa tsiqah antara qiyadah dan jundiyah merupakan modal besar dalam membangun bangunan dakwah ini. Dan ketsiqahan yang utuh hanya melahirkan ketenangan dan ketentraman. Sedangkan ketidaktsiqahan adalah jendela kehancuran bagi dakwah ini.

Kedua, saling menyadari bahwa apa yang kita lakukan adalah kerangka ubudiyah. Karenanya jauhkan diri dari tendensi material dan kebusukan hati. Kerja dakwah dan membangun bangunan dakwah adalah amal mulia. Allah Swt perintahkan untuk terus konsisten dengan kebersamaan orang-orang yang tulus dalam pengabdian. Allah berfirman:
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi: 28)

Ketiga, berupaya untuk mengalah demi kemashlahatan dakwah yang jauh lebih besar. Sikap itu diutamakan kepada para kader. Sehingga mereka tetap memberikan rasa hormat dan ta’zhim kepada qiyadah. Isu utamanya bukan lagi pendapat pribadi. Akan tetapi isu utama yang harus diangkat adalah kemashlahatan dakwah. Bagaimana nasib dakwah hari ini dan akan datang. Bagaimana pula peta perjalanan dakwah yang sedang berlangsung ini dan bagaimana rekrutmen kader baru serta target yang terbina. Inilah yang hendaknya selalu terngiang-ngiang dalam benak orang-orang yang melibatkan dirinya dalam barisan dakwah.

Keempat, mencari pihak yang netral dan dapat menetralisir keadaan. Sehingga dua titik yang mempunyai kecenderungan meruncing menjadi tumpul kembali. Dan akhirnya dapat direkatkan. Bila kasus Hudaibiyah ini yang menjadi sandaran isu kita dapat melihat sikap Umar Ra yang mendatangi Abu Bakar Ra untuk lebih mendapatkan ketenangan dalam mengambil sebuah sikap. Dan Abu Bakar mampu menetralisir keadaan sehingga tidak menimbulkan keruncingan. Begitu pula pihak-pihak yang didatangi agar tidak menambah persoalan baru bagi ketegangan yang terjadi. Malah seharusnya merukunkan kembali semua hal yang menyebabkan disharmonisisasi.

Kelima, saling berdoa untuk kebaikan semua pihak. Allah berfirman: ” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:”Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang”. (QS. Al-Hasyr: 10).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar