Kamis, 07 April 2011

Wafatkan Aku dalam Keadaan Mencintai Jalan Dakwah


Oleh : Cahyadi Takariawan
Rasa syukur yang tiada terhingga aku rasakan, atas karunia dan rahmatNya, aku bisa mendapatkan kehormatan menunaikan ibadah haji pada tahun 1428 bertepatan dengan bulan Desember tahun 2007. Apa yang istimewa dari haji tersebut bagiku ? Tentu  amat banyak.

Pertama,  itu adalah kali pertama aku menunaikan ibadah haji. Segala sesuatu yang pertama kali, pasti amat berkesan. Misalnya pertama kali ke luar negeri, atau pertama kali menaiki mobil, pertama kali naik pesawat, pertama kali memiliki rumah, melewati malam pertama, dan lain sebagainya. Semua yang pertama memang amat mengesankan. Apalagi pertama kali naik haji ke tanah suci, pasti sangat berkesan.

Terlebih lagi, aku berangkat haji dalam rombongan Tamu Kerajaan Saudi. Artinya, aku bisa berangkat ke tanah suci atas biaya pemerintah Kerajaan Saudi, alias gratis. Sungguh perasaan syukur selalu aku panjatkan kepada Allah atas kemudahan ini, atas kehormatan melakukan ibadah haji.


Haji adalah sebuah momentum ibadah yang amat sangat berkesan bagi siapapun yang bersungguh-sungguh menunaikan. Usiaku sudah 42 tahun saat menunaikan haji tersebut. Aku bersyukur, Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk dapat mengunjungi Ka’bah di saat fisik masih sehat dan segar. Betapa banyak kaum muslimin meninggal dan belum berkesempatan menunaikan haji, atau berkesempatan haji saat usia sudah senja dan fisik telah lemah.

Sungguh aku menangis dalam keharuan saat pertama kalinya di atas pesawat aku melafalkan kalimat talbiyah Labbaikallahumma labbaik.. Labbaika laa syarikalaka labbaik… Petugas mengumukan bahwa pesawat Saudi Airlines yang kami tumpangi telah melewati miqat, sehingga seluruh jama’ah telah mengenakan pakaian ihram dan membaca talbiyah. Aku juga menangis saat pertama kali bisa shalat di depan Ka’bah.

Kedua, ini adalah momentum yang sangat aku nantikan, bahwa akan bertemu waktu serta tempat dimana doa akan mudah dikabulkan Allah. Ya, inilah waktu dan tempat itu, aku sangat ingin melafalkan doa permintaan kepada Allah. Di antara tempat mustajab untuk berdoa adalah di depan Ka’bah, lebih khas lagi di Multazam, atau Raudhah di Masjid Nabawi. Sedangkan waktu yang amat sangat dinantikan adalah hari Arafah, dimana doa sangat mustajab pada waktu itu.

Doa yang ingin aku munajatkan sangatlah sederhana. Namun ingin aku ucapkan di tempat dan waktu mustajab saat haji. Ya, inilah momentum itu. Inilah saatnya aku memohon kepada Allah dengan segenap kesungguhan dan kerendahan diri. Sungguh mahal kesempatan ini, karena belum tentu aku bisa mengulanginya lagi.

“Ya Allah, wafatkan aku dalam kondisi mencintai jalan dakwah ilallah, dan jangan wafatkan aku dalam kondisi membenci jalan dakwah ini”.

Itulah doaku, permohonanku, harapanku kepada Allah. Lega sekali aku melafalkan doa tersebut di waktu dan tempat mustajab. Jika suatu saat kelak Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk mengunjungi baitullah, akan aku ulangi lagi doa itu. Sungguh, aku sangat ingin Allah mengabulkan doa sederhana tadi.

Sederhana? Mungkin, namun realisasinya yang sangat rumit. Aku mulai mengenal jalan dakwah semenjak umur 20 tahun, mengenal dari awal, mengeja huruf hijaiyah, mengeja pergerakan-pergerakan dakwah. Hingga akhirnya di usia 22 tahun mulai jatuh cinta pada jalan dakwah yang memberikan warna khas kepada aku. Kini aku telah menapaki jalan dakwah telah lebih dari 20 tahun. Aku sangat mencintai jalan ini, dan tak ingin meninggalkannya.

Jika Allah memanggilku hari ini, saat aku menulis narasi ini, insyaallah aku  wafat dalam kondisi mencintai jalan dakwah ini sepenuh hati. Namun bagaimana dengan sepuluh atau duapuluh tahun lagi, apakah perasaan cinta masih akan seperti ini ? Sungguh aku tidak tahu. Terlalu banyak fitnah menyertai perjalanan dakwah. Terlalu banyak ujian, mihnah, godaan yang akan terus menerus menerpa siapapun yang istiqamah di jalan dakwah.

Ada orang yang lurus di saat muda. Bersemangat membara, menyerahkan seluruh yang dimiliki di jalan dakwah ini. Namun akhirnya ia kalah di ujung-ujung usianya. Saat himpitan ekonomi, sosial, politik terus menerus menyesakkan dadanya. Rasanya ia tidak pernah menikmati hasil perjuangan. Jika pepatah mengatakan berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, kenyataannya ia harus mengatakan berakit-rakit ke hulu, berakit-rakit pula ketepian. Dari perjuangan masa muda hingga saatnya masa tua, semua serba bersakit-sakit.

Persoalannya, di saat ia merasakan kesakitan di masa tua, ternyata ia menyaksikan sebagian aktivis telah bergelimang kekayaan. Pada saat ia kesulitan membiayai pendidikan anaknya, kesulitan mengobatkan keluarga yang sakit, bahkan kesulitan mencari sesuatu untuk dimakan keluarga, ternyata sebagian yang lain telah berada dalam posisi kemapanan sosial dan ekonomi. Bukan hanya itu, namun ia merasa mereka yang telah kaya sudah tidak lagi mempedulikan yang tidak mampu.
 
Jika di masa tua ia menyesal menjadi aktivis dakwah, jika di masa tua ia mengungkit-ungkit jasa di masa lalu, jika di masa tua ia tidak rela menyaksikan kemajuan aktivis-aktivis muda, maka ia telah kalah dalam kehidupannya. Apalagi yang diharapkan? Jika ia mampu menjaga kaikhlasan di masa sulit, maka masih ada harapan nanti di akhirat, balasan yang melimpah dari Allah yang pasti sangat indah. Namun apabila kaikhlasanpun telah sirna, berubah menjadi amarah, dendam, dan kebencian, maka siorna pula harapan akhirat. Na’udzubillahi min dzalik.

Sungguh aku tidak mau memiliki sejarah kelam seperti itu. Aku ingin mati dalam kondisi mencintai dakwah ini sepenuh hati. Aku sangat takut kehilangan rasa cinta atas jalan dakwah, apalagi jika sampai ke tingkat muncul perasaan benci. Ya Allah, jauhkan aku dari rasa benci kepada sesuatu yang seharusnya aku cintai.

Itulah doa yang sering aku ulang dalam keseharianku. Aku selalu memohon kepada Allah, semoga selalu diberi kekuatan, kelapangan, keikhlasan, kesabaran, kemudahan dalam mencintai jalan dakwah ini. Aku selalu memohon kepada Allah agar tidak pernah berpaling kepada jalan-jalan lain yang menyesatkan, kepada ajakan-ajakan yang menjurus kepada perpecahan, kepada seruan-seruan yang membawa kepada kehancuran tatatanan. Sampai kematian menjemputku.

Kabulkan doaku, Ya Allah…..
Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar