Selasa, 14 Juni 2011

Hanya 28,7 Persen, Pemuda Muslim Shalat 5 Waktu


Kaum muda Muslim tidak tertarik dengan politik. Mereka juga tidak mempermasalahkan wanita untuk menjadi pemimpin. Demikian hasil survei mutakhir yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), Goethe Institut, dan Friederich Naumann Foundation for Liberty (FNF). Mengambil sampel dari seluruh provinsi di Indonesia, survei ini menyimpulkan, hanya 28,6 persen responden mengaku tertarik dengan politik.  Bahkan, sebanyak 48 persen responden memandang politik sebagai hal yang membosankan.


Pada saat yang sama, pemuda Muslim di Indonesia tidak mempermasalahkan perempuan menjadi pemimpin. “Ini sebuah kemajuan. Selama ini kaum perempuan terkadang tidak mendapat tempat sebagai pemimpin,” kata Direktur Urusan Publik LSI, Burhanuddin Muhtadi, saat menjelaskan hasil survei tersebut di Jakarta, Selasa (14/6).

Menurut dia, sekitar 72 persen responden (berusia 15-25 tahun) dari 1.496 sampel yang disurvei di seluruh provinsi di Indonesia menyatakan tidak masalah perempuan menjadi pemimpin. “Mereka tidak setuju dengan adanya pernyataan yang menyebutkan bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin yang baik.” Pemuda Muslim di Tanah Air, lanjut Muhtadi, juga sangat menekankan nilai-nilai dan perilaku Islami. Bagi mereka, agama menjadi aset sosio-psikologis untuk menghadapi perubahan pada masyarakat.

Agama menjadi identitas dan pedoman penting dalam kehidupan mereka. Dari 1.496 responden, lebih dari 90 persen responden mengatakan, kepercayaan kepada Tuhan adalah sesuatu yang penting. Penolakan mereka terhadap hal-hal yang haram cukup tinggi. Sebanyak 96,2 persen menolak seks sebelum menikah dan 88,7 persen menolak mengonsumsi alkohol.

Namun, lanjut Burhanudin, praktik ritual mereka tidak sekokoh identitas pribadi, sosial, dan keluarga yang menjalaninya. Apabila praktik agama dijalankan dengan tingkat kontrol sosial tinggi, praktik agama semakin sering mereka laksanakan. Sebaliknya, jika ritual itu dilaksanakan dengan kontrol sosial rendah, praktik tersebut akan rendah pula. Sekadar contoh, kata Burhanudin, dalam survei ditemukan hanya 28,7 persen responden yang mengaku shalat wajib lima waktu sehari.

Sebanyak 39,7 persen responden mengatakan kadang-kadang shalat. Hasil ini berbeda dengan ritual dengan tingkat kontrol sosial tinggi seperti puasa Ramadhan. Sebanyak 59,6 persen menyatakan selalu berpuasa Ramadhan.

Menurutnya, terdapat ketidaksesuaian antara identitas dan perilaku. Cara pandang dan identitas saleh belum tentu menggambarkan perilaku kesalehan. Hal ini yang penting menjadi koreksi ke depan. Pembinaan umat terutama kalangan muda tidak boleh hanya menekankan aspek teori. Tetapi, pengamalan dan praktik ajaran itu juga tak dapat diabaikan.

sumber: fimadani.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar